Puluhan warga tewas di Cicalengka, Kabupaten Bandung dalam rentang sepekan akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan pada awal April 2018. Kasus paling mencuat tahun ini, yang memaksa pemerintah setempat menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Darurat miras oplosan. Terdengar klise, tapi itulah kesan kuat dalam pemberitaan sepanjang April ini perihal korban yang berjatuhan. Istilah yang sejak 2014 (seharusnya) sudah lazim di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat RI, karena kasus yang sama.
Peneliti Madya Sosiologi pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, pernah menggunakannya dalam buletin Info Singkat Kesejahteraan Sosial, Vol. VI No. 24/II/P3DI, edisi Desember 2014.
Menurut laporan itu, dalam sepekan, di wilayah Garut dan Sumedang, Jawa Barat, korban miras oplosan tercatat 27 orang mati. Mengutip salah satu portal daring, buletin itu menunjukkan tabel berisi data kematian akibat miras oplosan sepanjang 2013-2014.
Buletin tersebut lalu merekomendasikan kepada Komisi IX DPR RI agar segera membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol. Selain itu, menghidupkan kembali perda anti-miras yang sudah diimplementasikan di beberapa daerah, dan mendorong percepatan pembentukannya di daerah lain yang belum memiliki peraturan tersebut.
Berkebalikan dengan isi buletin tersebut, Center for Indonesian Policy Studies, pada 2016 membuat laporan bertajuk Cedera dan Kematian akibat Minuman Beralkohol Palsu dan Oplosan - Potensi Dampak Pelarangan Minuman Beralkohol di Indonesia.
Rofi Uddarojat, peneliti kebijakan publik dari Center for Indonesian Policy Studies, dalam laporan riset itu menulis "...tidak ada data statistik yang jelas yang dapat mengukur besarnya permasalahan konsumsi minuman beralkohol."
Ia mengkritik rezim pelarangan minol dan miras karena ada potensi bahaya yang lebih besar: miras oplosan ilegal. Larangan terhadap minuman beralkohol legal, justru menciptakan peluang menjamurnya miras terlarang melalui pasar gelap.
"Kejadian yang sama pun terjadi di Amerika Serikat saat minuman beralkohol dilarang pada 1920 hingga 1933. Pelarangan ini justru menyebabkan meningkatnya minuman beralkohol palsu yang mengandung zat-zat yang berbahaya dan mematikan," tulisnya.
Lokadata Beritagar.id mengolah hasil pemantauan media selama 1 Januari hingga 11 April 2018 dari 18 media, di antaranya Kompas.com, Tribunnews.com, Detikcom dan lainnya. Dari hasil penelusuran tercatat 144 orang tewas akibat miras oplosan selama rentang waktu tersebut di sembilan provinsi.
Korban paling banyak diberitakan yakni di Jawa Barat (88 orang), DKI Jakarta (21 orang) dan Banten (10 orang). Kasus serupa di luar Jawa juga menjadi sorotan media yakni di Papua (8 orang), Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Selatan yang menelan korban jiwa masing-masing dua orang, serta di Nusa Tenggara Barat (satu orang).
Temuan ini jauh lebih besar daripada temuan Center for Indonesian Policy Studies (2016) yang juga menelusuri pemberitaan media daring. Sebanyak 83 orang tewas pada 2013; lalu 151 korban pada 2014; turun menjadi 126 korban pada 2015; dan hingga Maret 2016 angkanya tercatat 59 orang.
Kesulitan mendapatkan data akurat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memperkirakan Indonesia mengonsumsi lima kali lebih banyak minuman beralkohol tidak tercatat daripada konsumsi minuman beralkohol legal dari tempat berizin.
Untuk melihat gambaran konsumsi bir dan miras jenis lainnya di Indonesia, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) bisa menjadi data pembanding. Hasilnya, menurut Susenas 2017 BPS, angka konsumsi bir maupun non-bir di Jawa Barat bukan yang tertinggi.
Jawa Barat mungkin kerap menjadi sorotan media untuk kasus kematian akibat miras oplosan belakangan ini--bahkan pada 2014. Namun, provinsi dengan rata-rata konsumsi tertinggi justru Papua dan Sumatra Utara.
Tiap orang di Sumatra Utara rata-rata meneguk miras jenis lain seperti anggur dan spiritus sebanyak 49,5ml dan bir 1ml tiap minggunya. Sementara di Papua, rata-rata orang menikmati bir sebanyak 4,5ml dan 2ml miras jenis lain saban pekan.
Angka itu jauh di atas rata-rata penduduk Jawa Barat yang mengonsumsi bir dan miras jenis lain--masing-masing "hanya" 0,3ml tiap per pekan. Kasus miras oplosan maut di Cicalengka yang setidaknya merenggut 41 nyawa, karenanya jadi anomali.
Pada awal tahun 2018, pemberitaan tentang miras oplosan sempat mencuat lewat kasus di Cimahi, yang menelan korban sembilan warga tewas. Angka itu terhitung paling banyak sepanjang Januari hingga Maret.
Mencuatnya kasus miras oplosan pada April, kontras dengan pemberitaan sebelumnya. Gambaran ini setidaknya memberi sinyal kuat, bahwa peringatan WHO perlu jadi perhatian serius. Seberapa banyak sebenarnya konsumsi miras (oplosan) ilegal?
Kadar metanol maksimal 0,01 persen
Sekali meneguk miras oplosan, reaksi tubuh beragam. Ada yang langsung tewas, ada yang bisa menolerir dan selamat. Yang tewas pun tak melulu langsung tumbang setelah meminum cairan maut tersebut. Mulanya, para korban mengeluh muntah-muntah dan sesak di dada, hingga nyawa pun melayang, seperti pada kasus di Cicalengka.
Jika ditelusuri jenis miras oplosan yang menewaskan 144 korban tersebut, ditemukan kemiripan. Beberapa dari mereka diduga meneguk ginseng yang merupakan campuran air, metanol, serta minuman energi atau soft drink. Beberapa di antaranya malah menambahkan obat batuk atau obat cacing.
Ahli Farmasi lulusan Farmasi Klinis, University College London, Putri Ariin Wulandari, menyebutkan metanol atau ethylene glycol adalah jenis alkohol paling beracun dibandingkan jenis lain seperti etanol. Keduanya memiliki sifat utama depresan pada sistem saraf pusat yang memberikan efek penenang.
"Minum metanol murni sebanyak 10ml atau dua sendok teh itu bisa menyebabkan kebutaan. 100ml bisa mati," kata Ariin kepada Beritagar.id , Jumat (20/4/2018).
Bila setelah minum miras yang mengandung metanol lalu kepala terasa pusing, muntah, hingga pandangan kabur, sebaiknya segera ke Instalasi Gawat Darurat untuk perawatan.
"Di rumah sakit, pasien bisa diberi senyawa untuk melawan racun metanol yakni etanol atau fomepizole. Senyawa ini diberikan melalui injeksi atau infus. Sebagai alternatif lain, pengeluaran racun pun bisa dilakukan melalui hemodialisa (cuci darah)," katanya.
Bahaya metanol, bisa dilihat dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 14/2016 tentang Standar Keamanan dan Mutu Minuman Beralkohol (berkas .pdf). Beleid ini telah mengatur kadar dua senyawa tersebut dalam minuman beralkohol.
Pasal 5 aturan tersebut menyatakan, "Batas maksimum kandungan metanol dalam Minuman Beralkohol adalah tidak lebih dari 0,01 persen, dihitung terhadap volume produk." Lebih dari kadar tersebut, dinyatakan sebagai pangan tercemar.
Sedangkan kadar etanol bisa bervariasi tergantung jenis minuman. Untuk jenis bir, misalnya, kadar maksimal dalam standar mutu adalah 8 persen. Adapun untuk sekelas vodka, kadar etanolnya tidak kurang dari 37,5 persen.
Sementara itu, kadar metanol yang dicampurkan dalam miras oplosan di Cicalengka berkisar antara tiga hingga delapan persen. Metanol itu lalu dicampur dengan cairan, serbuk penambah stamina, hingga zat pewarna.
https://beritagar.id/artikel/berita/darurat-minuman-keras-oplosanBagikan Berita Ini
0 Response to "Darurat minuman keras oplosan"
Post a Comment