Search

Buah Simalakama Pelarangan Minuman Beralkohol

Di Kabupaten Bandung, 38 orang tewas, di Kota Bandung 7 orang tewas, di Jakarta 18 orang tewas, di Bekasi 7 orang tewas, dan di Depok 6 orang tewas. Kita tentu saja terhenyak melihat data tersebut, dan sebagian dari kita langsung berpikir minuman keras harus semakin diketatkan peredarannya, bahkan kalau bisa dilarang sama sekali.

Tapi pernahkah kita melihat dengan jeli, korban minuman keras justru semakin banyak berjatuhan ketika aturan minuman beralkohol semakin ketat?

Dari penelitian Center for Indonesian Policy Studies pada 2016 lalu, seperti dilansir BBC, dalam waktu 10 tahun, total korban tewas akibat miras oplosan mencapai 837 orang. Sebanyak 300 orang tewas selama tahun 2008 dan 2013, lalu naik hampir dua kali lipat jadi 500 korban tewas antara tahun 2014 hingga 2018.

Sebagian orang mungkin akan membantah keras adanya korelasi antara pelarangan minuman beralkohol dengan meningkatnya jumlah kematian akibat minuman beralkohol. Tapi, bagaimana pun statistik menunjukkan korelasi itu. Bukan hanya di Indonesia, di banyak negara lain juga terbukti adanya korelasi antara pengetatan/pelarangan minuman beralkoholdengan meningkatnya jumlah korban akibat minuman beralkohol.

Kelompok moralis dan agamis mungkin akan mencak-mencak, bagaimana mungkin pelarangan minuman beralkohol malah meningkatkan jumlah kematian akibat minuman beralkohol? Bukankah minuman beralkoholnya tidak beredar bebas, dan itu artinya akses warga terhadap minuman beralkohol jadi sangat minim?

Memang betul dengan pelarangan, di satu sisi akses warga terhadap minuman beralkohol jadi sangat terbatas, tapi di sisi lain ada fakta bahwa pelarangan tidak membuat sebagian warga berhenti mencari hiburan dari minuman beralkohol. Akibat dari dua fakta itu, secara ekonomi minuman beralkohol langsung melambung nilai jualnya. Kita ingat prinsip ekonomi yang diajarkan sejak SMP, saat permintaan akan satu barang tinggi sementara stoknya terbatas, maka harga barang itu secara alamiah akan naik.

Pada hal-hal yang disebut haram

Hal yang persis sama terjadi pada minuman beralkohol—dan juga pada hal-hal "haram” lainnya misalnya narkoba.

Ilustrasinya seperti ini, antara 10 sampai 12 tahun lalu, harga minuman beralkohol impor merk ternama—katakanlah jenis vodka dan wiski—bisa diperoleh dengan harga antara Rp 90 ribu sampai Rp 150 ribu per botol. Untuk kepentingan rekreasi, satu botol minuman itu cukup untuk dikonsumsi enam orang. Misalnya ada enam berkawan yang ingin berekreasi dengan minuman beralkohol berharga Rp 150 ribu di masa 10-12 tahun lalu, masing-masing cukup "urunan” mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu – Rp 30 ribu. Saat itu, minuman impor ini sering dikonsumsi warga kelas menengah. Urunan Rp 25 ribu – Rp 30 ribu masih sangat terjangkau oleh mereka.

Sedangkan untuk minuman beralkohol produksi lokal, seperti arak, anggur, atau nama-nama lain yang seringkali diberi label sebagai "jamu”, antara 10-12 tahun lalu harganya masih di kisaran Rp 30 ribu. Di masa itu, minuman lokal ini banyak dikonsumsi warga kelas bawah.

Setelah terjadi pembatasan/pelarangan minuman beralkohol, minuman yang merknya persis sama harganya melonjak jadi antara Rp 300 ribu sampai Rp 600 ribu. Bahkan minuman beralkohol produk lokal, yang dulu harganya antara Rp 30 ribu kini sudah naik jadi di atas Rp 75 ribu. Akibatnya, warga kelas menengah dan warga kelas bawah sama-sama tidak sanggup lagi membeli minuman beralkohol yang relatif aman.

Lanjut ke halaman 2

Nasib kelas bawah

Let's block ads! (Why?)

http://www.tribunnews.com/internasional/2018/04/23/buah-simalakama-pelarangan-minuman-beralkohol

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Buah Simalakama Pelarangan Minuman Beralkohol"

Post a Comment

Powered by Blogger.