Bait awal puisi ini bisa jadi 'menggugah' siapapun yang pernah bersinggungan dengan kisah wayang, khususnya yang tersiar di tanah Jawa, karena keliarannya yang tidak karuan.
Mulai dari Sengkuni hingga Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) semua 'dihajar' oleh kemabukan.
Berikut adalah kutipan beberapa bait puisi karya Sindhunata, yang juga pernah dipopulerkan dalam bentuk lagu oleh kolektif hip hop Jogja Hiphop Foundation:
Ke mana Ranto Gudel pergi,
panggung selalu harum dengan arak wangi.
Di Sriwedari jadi petruk,
Garengnya diajak mabuk,
Bagongnya menggeloyor,
Semarnya berjualan ciu cangkol,
dengan terang lampu semprong.
Mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur,
siangnya melamun minum limun,
malamnya bangun minum berminum,
lapen ciu cangkol arak bekonang.
Sekarang di sudut-sudut rumah,
botol-botol cangkol dipasangnya,
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus.
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus,
yang bisa mengusir tikus,
padahal dulu aku minum sampai lampus.
Setidaknya ada tiga nama jenis minuman yang disebutkan oleh Sindhunata dalam puisi tersebut yaitu Lapen, Ciu Cangkol, dan Arak Bekonang.
Meskipun pada akhirnya tokoh bernama Ranto Gudel menyesali kebiasaan mabuknya pada masa muda, namun tiga minuman yang disebutkan dalam puisi tersebut memang eksis di dunia nyata bahkan ada yang usianya sudah sangat tua.
Antropolog Universitas Indonesia, Raymond Michael Menot, menuturkan minuman beralkohol sudah ada di tanah Jawa sejak era kerajaan Kadiri, tepatnya dalam masa pemerintahan Jayakatwang.
"Pada masa Jayakatwang, minuman beralkohol jadi taktik berperang mengendalikan lawan (pasukan Mongol). Saat pasukan Mongol mau menyerang, Jayakatwang membuat mereka mabuk," ujar Raymond, kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Sementara di era Majapahit, tuak dibuang ke kolam Segaran. Kebiasaan itu dipercaya untuk memperluas wilayah kekuasaan."
Ciu Bekonang. (Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
Sementara itu sejarawan makanan Universitas Padjadjaran sekaligus penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman, menuturkan setidaknya catatan sejarah tertua tentang minuman fermentasi sudah ada sejak abad ke-VIII Masehi.
"Catatan tertua tentang minuman fermentasi ada di dalam beberapa prasasati dan naskah kuno jawa, mulai dari abad kedelapan sampai abad ke-XIII," ujar Fadly beberapa waktu lalu.
"Banyak minuman fermentasi yang diolah dari nira, beras, ketan, dan namanya pun bervariasi mulai dari Badeg (diolah dari gula kelapa), Tampo, dan Arak (diolah dari beras), serta Tuak (diolah dari aren). Kalau di Jawa Barat ada Lahang, tapi ini sudah sangat jarang ditemui."
Menurutnya, sebelum Islam menanamkan pengaruhnya di Nusantara sejak abad ke-XIII hingga abad ke-XV Masehi, kebiasaan minum-minuman fermentasi telah berlangsung sangat lama bahkan sebelum masa Hindu-Budha berkuasa.Dalam kitab Nagara Kertagama disebutkan, menu pesta di Istana Majapahit yang dipenuhi berbagai jenis minuman fermentasi.
Konon Hang Tuah (tokoh legenda Melayu), Fadli menambahkan, pernah bertandang ke Istana Majapahit dalam sebuah perhelatan, dan menyaksikan Mahapatih Gadjah Mada dan para punggawanya sedang mabuk berat.
Namun, kini situasinya kian berbeda.
Sejumlah daerah macam Yogyakarta dan Sukoharjo, misalnya kian mengendalikan minum beralkohol dan oplosan. Pada 2015 dan 2012, dua daerah itu menerbitkan peraturan yang melarang minuman fermentasi.
Pemerintah DIY misalnya menyatakan peraturan ini dibuat karena banyaknya kasus kematian yang dialami warga akibat 'kegemarannya' mengoplos minuman dengan bahan-bahan yang tidak semestinya.
Keraton Yogyakarta. (Foto: Istockphoto/uskarp)
|
Dalam Pasal 1 tentang ketentuan umum, perda tersebut memberikan definisi yang cukup jelas terkait minuman berakohol, minuman beralkohol tradisional, dan minuman oplosan. Berikut adalah penjelasannya:
Minuman Oplosan adalah minuman yang dibuat dengan cara mencampur, meramu, menyeduh dan/atau dengan cara lain bahan-bahan tertentu dengan atau tanpa zat yang mengandung alkohol yang bereaksi menjadi racun dan membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
Sedangkan di Sukoharjo, peraturan itu melarang Ciu atau minuman yang dikategorikan minuman beralkohol. "Ciu atau sejenisnya adalah kandungan etanol di bawah 70 persen yang disalahgunakan sebagai minuman beralkohol, diproduksi di daerah, tidak memiliki izin edar," demikian bunyi salah satu pasal aturan tersebut.
Namun ada yang tetap dikenang dari minuman tersebut.
Salah satu peminum Ciu Stephanus Adjie mengungkapkan ceritanya. Pria yang dikenal sebagai penggawa band metal legendaris asal Solo, Down For Life, ini mengungkapkan soal kebiasaan di Solo soal Ciu.
"Orang-orang kampungku di Solo, setiap ada hajatan pasti ada Ciu. (Mereka) yang mau minum ya monggo, yang enggak ya enggak apa-apa," ujar pria yang akrab disapa Adjie, saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
"Ini berlaku buat semua orang ya, terlepas dari agama dan umurnya. Kecuali anak-anak ya pasti dilarang minum."
Adjie pun mengingat-ingat cerita sang nenek kala meminum Ciu --minuman fermentasi khas Solo-- untuk kesehatan asal sesuai takaran. Namun sayangnya, ia menambahkan, ada juga pihak yang mengonsumsi Ciu tidak sesuai takaran sehingga berakhir pada mabuk.
Ciu rasa pisang menjadi salah satu varian campuran buah yang banyak diminati konsumen. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
Terkait dengan aturan di pelbagai wilayah, sejarawan makanan Universitas Padjajaran Fadly Rahman makanan menuturkan bahwa peraturan serupa juga pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial pada 1920.
Menurutnya seorang aparat pemerintah bernama Jacob Kats pernah menerbitkan buku berjudul Het alcoholkwaad en zijn bestrijding voornamelijk met het oog op Nederlandsch-Indië atau secara umum adalah Bahaya miras serta Daya Upaya Menjauhinya: Terutama bagi Hindia-Belanda.
Fadly menambahkan Kats mencermati apa yang sebenarnya mendorong orang minum hingga mabuk, Kats pun menyarankan pemerintah agar mengawasi secara ketat produksi dan peredaran miras.
Manurut Kats, dia melanjutkan, emosi labil serta ketidakmampuan menekan rasa frustrasi dari kesulitan hidup berpotensi menggiring seseorang untuk mabuk.
Itu sebabnya Fadly menolak minuman fermentasi diasosiasikan dengan minuman beralkohol yang selama ini dibentuk dan bermukim dalam benak sebagian masyarakat Indonesia.
"Minuman fermentasi jangan disamakan dengan minuman alkohol seperti yang dipersepsikan oleh banyak orang saat ini, karena minuman ini terdiri dari beragam level mulai dari yang yang tidak memabukkan sampai yang sangat memabukkan. Ini tergantung dari tujuan si peminum," ujarnya.
"Bahkan merujuk riset Peter Carey dalam The Power of Prophecy (2008), Pangeran Diponegoro suka sekali minum anggur putih. Sang pangeran menganggap anggur putih berkhasiat sebagai obat kala badannya sedang lemah."
Antropolog Universitas Indonesia, Semiarto Aji Prabowo juga menjelaskan minuman fermentasi bukan hanya sebagai identitas, tapi juga terkait dengan hal-hal yang sifatnya mitologis dalam lanskap kultural.
"Minuman (fermentasi) tak hanya berada dalam tradisi minum di level perilaku, tapi level yang lebih sakral. Mulai dari menempatkan minuman sebagai minuman nenek moyang hingga minuman dewa," ujarnya. (asa)
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190310005145-262-375875/legenda-kecil-minuman-dewa-dari-tanah-jawaBagikan Berita Ini
Promo www.Fanspoker.com :
ReplyDelete- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup
|| bbm : 55F97BD0 || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||