Bir artisanal diproduksi dalam skala industri rumahan. Mengutamakan inovasi rasa.
“Aku sampai nggak bisa bergerak. Tadi desak-desakan banget,” katanya sambil melipat kedua tangan dan berdiri kaku demi menggambarkan posisinya di tempat itu beberapa jam sebelum dijumpai Tirto.
Orang-orang tak hanya datang untuk mencicipi bir gratis. Mereka pun ingin menyaksikan beberapa brewer (istilah bagi pembuat bir) yang tengah berkompetisi memamerkan hasil kreasi bir yang dibuat dengan campuran tumbuhan dan rempah nusantara.
“Gue cobain bir namanya ‘Gadis Toba’. Birnya dibuat dengan campuran raru, kulit kayu yang biasa dipakai untuk bikin tuak Batak. Rasanya agak manis dan segar banget kalau diminum dingin,” kata Dika, seorang tamu yang hari itu menghabiskan enam gelas bir dengan rasa berbeda.
“Fiuhh, ini gila!” ungkap Aaron Grieser, pendiri Beervana, perusahaan importir bir artisanal di Asia Tenggara. “Aku mau lihat berbagai jenis bir artisanal lokal. Aku yakin negara ini potensial, tinggal didorong ke arah sana. Thailand bisa punya 500-an varian bir artisanal yang muncul dalam kurun waktu satu tahun. Aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk eksplorasi hal ini,” kata Grieser, inisiator kompetisi pembuatan bir yang mulai berbisnis pada 2016.
Ia begitu yakin jika masyarakat Indonesia, terutama kaum milenial Jakarta, haus varian rasa bir yang berbeda dari bir produksi perusahaan besar. Menurutnya, bir artisanal yang mengutamakan eksperimen dalam pemilihan bahan dan pengolahan produk mampu memenuhi permintaan tersebut.
Kompetisi hari itu dimenangkan Benson Matthew Ishak, pengusaha bidang produksi bahan bangunan yang hobi coba-coba bikin bir. “Ini passion-ku. Aku suka hal-hal yang melibatkan proses kimiawi, salah satunya bikin bir. Aktivitas ini selalu bisa memuaskan hasratku,” kata pria yang sempat mengenyam kuliah di jurusan pendidikan Teknik Kimia ini.
Sang pemenang tadinya tidak menyukai bir, apalagi kategori India Pale Ale (IPA), jenis bir yang dimanfaatkan untuk bir artisanal. Tapi lama kelamaan lingkungan mengubahnya; ia bisa menerima beberapa rasa bir, bahkan keranjingan bereksperimen membuat bir di rumah dengan perlengkapan sederhana semacam ember dan galon air mineral.
“Aku pernah coba membuat bir dengan campuran jeruk bali, teh, bunga-bunga, rempah, selai kacang, sampai bakteri,” lanjutnya.
Ia menang karena racikan bir artisanalnya menggunakan kelapa, pandan dan gula aren. Alasan pemilihan bahan sederhana: bahan-bahan itu kerap jadi minuman dan kudapan tradisional. “Kesannya nostalgis,” kata Benson. Resep karya Benson nantinya akan diproduksi secara komersil oleh Tuatara, produsen bir artisanal asal Selandia Baru.
Bir Indie Berawal dari Kebosanan
Di Indonesia, istilah bir artisanal belum begitu marak terdengar. Saat ini, jenis minuman tersebut masih ada dalam kategori niche market, alias ceruk pasar terbatas. Kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Belgia, Belanda, serta Italia.“Waktu aku datang ke California tahun 2009, craft beer adalah minuman yang sangat populer di sana,” kenang Benson.
Grieser pun punya memori tersendiri dengan minuman ini. “Aku coba bikin craft beer pertama waktu umur 14 tahun.” Seingatnya, di AS, craft beer pertama kali dibuat pada 1970-an di bagian utara AS. Minuman tersebut dibuat lantaran publik bosan dengan rasa bir yang itu-itu saja.
Dalam "Economic Perspectives on Craft Beer" (2018), Christian Garavaglia dan Johan Swinnen menulis bahwa pembuatan bir artisanal berasal dari gagasan empat pria Inggris yang membentuk Campaign for Real Ale (CAMRA) pada 1971. Kampanye itu bertujuan menuntut para pemilik bar agar menyajikan bir berkualitas dengan aneka ragam rasa, tak hanya seperti yang dijual produsen besar.
Gerakan ini lantas memicu para penikmat bir untuk mempraktikkan cara pembuatan bir secara sederhana dan dalam skala kecil. Tak lama kemudian, ide CAMRA pun sampai di telinga masyarakat AS dan mereka pun mulai mencoba membuat bir artisanal.
Garavaglia dan Swinnen mencatat eksperimen bir rumahan biasanya dilakukan para mahasiswa dan orang-orang yang baru saja pergi berlibur ke tempat-tempat di mana popularitas bir artisanal sedang di puncak.
Infografik Craft Beer
“Aktivitas membuat bir artisanal ini gampang ‘menular’. Bisnis bir artisanal di Spanyol dimulai pada 1980-an setelah salah satu warga Spanyol berlibur ke Jerman dan terpana dengan bir di sana. Hal serupa terjadi pula dengan Belanda, AS, dan Jepang,” tulis Garavaglia dan Swinnen.
Bir artisanal lantas jadi tenar pada dekade 1980-an dan 1990-an. Popularitasnya didukung oleh kemunculan gerakan mengonsumsi makanan dan minuman lokal, organik, dan tren konsumsi makanan slow food—kebalikan dari fast food.
Di Asia, gema bir artisanal terdengar sejak 2010-an. Jonathan So, pria asal Hong Kong menyelenggarakan Beertopia, festival bir artisanal sejak tahun 2012. Ia mengatakan peserta berlatar belakang pengusaha bir artisanal lokal kian bertambah dari tahun ke tahun.
Sekitar empat tahun lalu, Grieser merintis bisnis di Thailand dan Vietnam. Ia memasok bir artisanal ke dua negara tersebut sembari mencari ragam bir artisanal setempat. Di dalam negeri, jumlah pemain ranah bir artisanal masih bisa dihitung jari. Coffeebeerian, kedai yang menjual bir dan kopi, bisa dibilang sebagai salah satu pemain awal bisnis ini. Dari sana pula terbentuk komunitas pecinta bir artisanal.
“Cukup lega sih sekarang sudah ada komunitasnya dan kami bicara setiap hari soal hal-hal baru yang bisa kami lakukan terkait bir artisanal,” cerita Benson.
Ia berharap semakin banyak orang tertarik bir artisanal. Di kota besar semacam Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, atau Denpasar, peluang ini jelas terbuka. Banyaknya anak muda yang gemar bereksperimen adalah satu ceruk pasar tersendiri. Tentu saja bisnis ini bukan tanpa rintangan: masih banyak orang mengeluhkan tingginya harga jenis bir artisanal yang dijual di atas Rp100 ribu untuk botol berukuran sekitar 600 ml.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bisakah Bir Artisanal Jadi Minuman Populer di Indonesia? - tirto.id"
Post a Comment