Search

Regulasi dan Korban Minuman Beralkohol Masih Belum Sinkron, Ini ...

BANDUNG, (PR).- Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pasar minuman beralkohol nyatanya tak berbanding lurus dengan berkurangnya distribusi maupun konsumsi alkohol ilegal. Jawa Barat sendiri telah mengesahkan 62 peraturan yang mana merupakan jumlah tertinggi di antara provinsi lainnya di Indonesia, tapi masih banyak terjadi kasus kematian akibat alkohol oplosan.

Itu terungkap dalam Diskusi Publik dan Publikasi Riset “Kebijakan Pembatasan Alkohol dan Dampaknya pada Masyarakat”, di Hotel Zodiak, Kebon Kawung, Kota Bandung, Rabu 9 Mei 2018 oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) bekerjasama dengan CEDS Unpad. Kepala Bidang Riset CIPS Hiskia Respatiadi mengungkapkan bahwa industri minuman beralkohol di Indonesia tampak sangat diatur oleh pemerintah pusat. 

CIPS menilai, pemerintah tidak  perlu lagi mengeluarkan Undang-Undang baru melalui RUU Larangan Minuman Beralkohol.“Bahwa (aturan yang) merestriksi soal alkohol sudah cukup banyak. Menurut CIPS tidak perlu lagi membuat UU baru,” kata Hiskia.

Bahkan saat ini banyak peraturan-peraturan daerah yang menyesuaikan dengan syariat Islam sehingga membatasi atau bahkan melarang distribusi dan konsumsi alkohol. Sebuah studi oleh Buehler dalam The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia tahun 2016, mendokumentasikan 377 peraturan yang terinspirasi oleh syariat Islam yang disahkan sepanjang periode 1998-2013.

Jabar sendiri, menurut Buehler merupakan satu dari 9 provinsi yang memiliki peraturan yang diilhami tata cara syariat Islam dengan jumlah terbanyak dan telah mengesahkan 62 peraturan dalam periode tersebut. Hal ini sesuai dengan reputasi masyarakat Jabar yang dikenal ketat dalam menaati norma-norma Islam. Tapi mengejutkannya, wilayah Bandung Raya justru merupakan lokasi di mana banyak terjadi kasus kematian akibat alkohol ilegal.

Di samping usaha pemerintah untuk membatasi keterjangkauan minuman beralkohol, pemerintah juga membatasi aksesibilitas. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/2015 melarang toko kelontong modern atau minimarket maupun toko serba ada untuk menjual bir dan minuman kemasan yang telah dicampur dengan alkohol kuat. Restriksi lainnya terhadap aksesbilitas alkohol adalah pembatasan penjualan terhadap pelanggan di bawah umur. Terakhir, pemerintah pusat juga mengatur dalam Permendag No. 20 Tahun 2014 bahwa penjual minuman beralkohol yang telah memiliki izin dilarang beroperasi di sekitar wilayah gelanggang remaja, terminal bus, stasiun, warung kecil, tempat ibadah, sekolah dan rumah sakit.

Konsumen irasional

Dalam analisis CIPS, pelarangan justru lebih membebani konsumen irasional ketimbang konsumen rasional. Hal ini dikarenakan mereka yang irasional tetap saja ingin minum meskipun sudah ada pelarangan. Sehingga pada akhirnya “mereka harus membeli dari orang-orang jahat, yang justru malah menjadikan mereka sebagai korban”. Tragedi kasus kematian alkohol ilegal yang memakan 100 korban jiwa pada April 2018 membuktikan analisis ini. Pelarangan alkohol secara parsial hanya menjadi akses bagi konsumen kaya, sedangkan mereka yang muda dan berpenghasilan rendah tidak memiliki akses ke penjual alkohol legal.

Efek yang sama dari pelarangan sebagian juga telah diteliti melalui survei yang diadakan CIPS pada tahun 2016 lalu. Kajian tersebut memperjelas bahwa di dalam pelarangan parsial, konsumsi alkohol legal di Indonesia turun sebesar 30,53 persen. Namun konsumsi minuman ilegal meningkat sebesar 3,75 persen. Kajian ini memaparkan bahwa pelarangan parsial menghasilkan perpindahan konsumsi alkohol legal ke ilegal yang lebih berbahaya.

Hasil survei CIPS pun mengindikasikan kegagalan kebijakan publik dan penegak hukum dalam menanggulangi bahaya alkohol ilegal. Meskipun sudah banyak peraturan dan regulasi, tetapi kasus kematian tragis tetap terjadi. Regulasi pusat dan daerah seperti Permendag 06/2015 dan Perda Kota Bandung 11/2010 nampaknya belum dapat membatasi distribusi alkohol. Dari 100 konsumen alkohol yang disurvei, 58 persen menyatakan bahwa mereka sudah pernah mengonsumsi alkohol ilegal dan 41 persen pernah meminum oplosan sebelumnya.

Peneliti CIPS, Sugianto Tandra pun menuturkan bahwa CIPS merekomendasikan untuk memerangi konsumsi alkohol ilegal, pemerintah harus memindahkan konsumen alkohol ilegal yang jumlahnya sedikit untuk mengonsumsi alkohol legal dan menjauhi oplosan. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus menurunkan beban bea cukai minuman alkohol yang diatur dalam PMK Nomor 207/2013 dan menurunkan bea masuk yang diatur dalam PMK 06/2017.

Pemerintah juga sebaiknya menghapus Permendag 06/2015, karena pemerintah pusat telah memberikan otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengatur pelarangan tersebut. tetapi juga diimbau untuk tidak sepenuhnya melarang penjualan, karena pelarangan semacam itu akan memindahkan konsumsi ke alkohol ilegal yang didapatkan dengan mudah melalui warung-warung tanpa izin di pasar gelap.

Riset juga menunjukkan bahwa wilayah-wilayah di Indonesia yang menerapkan larangan terhadap alkohol justru memiliki angka kematian alkohol ilegal yang lebih tinggi. Wilayah Bandung Raya yang melarang penjualan minuman beralkohol, kecuali pada lokasi-lokasi mewah, memiliki jumlah kematian akibat oplosan 5 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional.

“Jika larangan berskala nasional mendatangkan kematian akibat alkohol ilegal hingga ke tingkat sebagaimana yang terjadi di Bandung Raya, maka oplosan berpotensi membunuh 339 orang lebih banyak setiap tahunnya. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi pemerintah dan kesehatan masyarakat untuk tidak memberlakukan larangan alkohol secara nasional,” tutur dia.***

Let's block ads! (Why?)

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/05/09/regulasi-dan-korban-minuman-beralkohol-masih-belum-sinkron-ini-penyebabnya

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Regulasi dan Korban Minuman Beralkohol Masih Belum Sinkron, Ini ..."

Post a Comment

Powered by Blogger.